Mengenai Saya

Foto saya
Azi... menatap bumi Alloh yang indah pada 14 Oktober 1991 dari seorang Ayah (Jombang) dan Ibu(Mojokerto). Aku membiarkan jari-jemariku menari bersama pena di atas kertas-kertas putih itu. aku suka bereksperimen dengan sayur dan segala bumbu dapur, karena aku suka memasak. Menikah muda adalah impianku. Menjadi istri sholihah adalah cita-citaku, dan membahagiakan Umi' adalah harapanku. umi' adalah nafas. umi' adalah nyawa.. umi' adalah bagian dalam hidupku...

Minggu, 26 Agustus 2012

CINTA


Pagi ini hari minggu. Kami makan nasi goreng bersama. Kebetulan ada teman yang sedang melintas depan rumah. Kami pun mengajaknya turut makan bersama.
Perkenalkan sebelumnya, namaku Azi, Azi N. Habibah. Kami tidaklah lengkap tanpa memperkenalkan Adit, suamiku.
“Hei, Ari. Apa kabar? Wah, kebetulan sekali nih, kami sedang bikin nasi goreng, kamu sudah sarapan belum?” tanya suamiku.
“Eh, iya. Baik. Lagi jalan-jalan nih.”
“Ayo ikut sarapan dulu lah…” ajak kami.
Sebenarnya bukan kebetulan juga sih ada Ari. Rumahnya yang ada di mulut gang kontrakan kami membuat kami sering bertemu. Hampir tiap hari Ari lari pagi keliling gang. Dan akhirnya Ari pun dengan malu-malu mengangguk tanda setuju.
*  * *
Suamiku adalah suami romantis nomor 1 di seluruh dunia versi hatiku.
Aku mengambilkan sepiring nasi goreng lengkap dengan sepotong telur dan taburan bawang goreng renyah kesukaan suamiku. Kemudian aku mengambil piring lain untuk tamu kami, Ari. Dan sedikit yang tersisa, kuletakkan di atas piringku.
Saat sedang menyendok nasi, suamiku berkata, “Sayang, apalah arti sepiring nasi goreng di depanku ini jika ada sesendok nasi goreng di tanganmu yang bisa kau suapkan untukku.”
Mataku melotot kaget. Tapi aku suka dengan cara manjanya saat minta disuapin.
“Satu kali aja ya. Malu sama Ari,” ujarku sembari menyuapkan sesendok nasi untuknya.
“Hee.. Ngga apa, Zi,” kata Ari.
Izinkan aku menceritakan sebelumnya bahwa Ari pernah mendekatiku jauh sebelum aku mengenal suamiku. Namun dalam perjalanan, aku merasa tidak ada kecocokan dengan Ari. Aku lebih senang berteman saja lah dengan Ari. Beda halnya dengan Ari. Beberapa bulan sebelum lamaran suamiku datang, Ari telah mencoba melamarku, namun karena aku sudah mantap menjatuhkan hatiku pada calon suamiku saat itu, yakni Adit, dengan halus aku menolaknya. Hanya saja, aku sempat kaget ketika Ari berkata, “Biarkan aku ada di hidupmu, meskipun aku tak bisa menjadi suamimu.”
Aku telah menceritakan ini pada suamiku sebelum kami menikah. Reaksinya biasa saja. Bahkan saat kami telah menikah dan mengontrak rumah di dekat tempat kerja suamiku, lalu beberapa hari kemudian Ari membeli sebuah rumah mewah di depan gang masuk rumah kontrakan kami, suamiku pun biasa saja. Malah kami pernah berkunjung ke rumah Ari yang ukurannya sekitar tiga kali kontrakan kami saat lebaran kemarin.
Suamiku sering bertemu Ari karena setiap berangkat dan pulang kerja melewati rumah mewah Ari. Suamiku menyapanya dengan ramah. Namun suamiku pun berpesan agar aku tidak menerima tamu laki-laki kecuali Bapak saat suamiku tidak ada. Maka sesering apapun Ari wara-wiri di gang, aku cuek saja. Kadang Ari menyapaku sekedar bertanya dari mana atau mau kemana.
“Maaf ya, cuma ada nasi goreng nih, Ri,” ucap suamiku.
“Ngga apa, enak kok masakannya Azi,” balas Ari.
“Iya dong… Istrinya Adit…” suamiku mengalungkan lengannya ke leherku. “Sayang, ini adalah nasi goreng terlezat yang pernah masuk mulutku. Makasih ya, Sayang…”
“Iya, Bang…”
“Waah, kamu harus berbagi nasi goreng terlezat buatan istrimu denganku, Dit. Haha…” tawa Ari. Pahit.
“Tidak, Ar. Nasi goreng yang ada di piringmu berbeda dengan yang ada di piringku.”
“Loh, apanya yang beda? Kan yang bikin sama. Azi.”
“Haha…” suamiku terkekeh pelan. “Tentu saja beda, Ar. Karena setiap sentuhan Azi pada piringku, sendokku, dan segala yang disajikan di piringku ini diiringi dengan cinta. Jadi aku ini sedang makan sepiring cinta.”
“Bagaimana kamu membedakannya? Bagaimana kalau yang Azi sajikan untukku juga diiringi cinta?” tanya Ari.
Suamiku menatapku. Aku juga menatapnya. Kami saling pandang.
“Cinta bukanlah sekeping dunia, tapi cinta adalah kepercayaan,” jawab suamiku.
“Bagaimana kalau kepercayaanmu salah?”
“Baiklah Ari… Aku harus mengatakan kepadamu…” suamiku menarik napas panjang. “Rumah tangga kami dibangun dengan bata sakinah, batu mawaddah, dan semen rahmah. Lihat pintu masuk rumah itu… disana terukir amanah. Lihat pintu kamar kami, disana tertanam barokah. Lihat sepiring nasi goreng di depanku, ada karomah. Apalagi yang perlu aku ragukan dari bidadari cantik di samping kiriku ini?”
Aku tersenyum. Kugenggam erat tangan suamiku.
“Aku menerima Bang Adit sebagai suami bukan sekedar karena cinta. Cinta bisa terkikis oleh emosi, tergerus oleh harta, terkuras oleh airmata. Namun kami ingin menegakkan perintah agama. Barangsiapa yang telah menikah maka ia telah melengkapi separuh agamanya. Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, dalam memelihara yang separuhnya lagi. hadist riwayat Thabrani. Dan kami telah menyepakati ini,” jelasku.
Kulihat Ari terdiam. Nasi di sendoknya pun dibiarkannya saja.
“Tak adakah emosi yang akan melunturkan kekuatan cinta kalian?” tanya Ari kemudian.
“Jadilah manusia yang pandai mengendalikan emosi. Bukan dikuasai emosi. Kami sedang belajar. Dan aku harap kau mau belajar juga,” jelas suamiku.
“Bagaimana jika kamu sedang dikuasai emosi, hingga melukai istrimu. Sedang tak ada orang lain di rumah ini yang bisa meredammu dan menolong istrimu?”
“Allah yang akan menolongnya. Allah yang akan terus menjaga dan melindungi istriku. Kami membaca ta’awaudz sebelum tidur dan lagi, sesaat setelah bangun tidur.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, Sayang. Berjuta lelaki di hadapanku, kau tetap pemilik hatiku.”
“Milik-Nya, istriku…” tangannya menunjuk ke atas.
Aku suka sekali jawaban suamiku kali ini.
Mata Ari berkaca-kaca.
“Menikahlah… Kau tahu? Cinta sejatimu insya Allah ada di luar sana,” suamiku dengan senyum khasnya menasehati Ari. “Lebih tepatnya aku memohon, Ar… Menikahlah. Dan keluarlah dari kehidupan kami,” suamiku tampak serius.
Ari tersenyum hambar. “Bukankah hanya pada-Nya kamu berhak memohon, Dit!”
Suamiku kembali tersenyum. Manis sekali. Aku suka sekali memperhatikan suamiku saat tersenyum. Apalagi kalau dilihat dari posisi samping sepertiku saat ini, suamiku manis sekali.
“Ya. Sudah pintar kali kau ini. Hahaha…” suamiku terkekeh.
Disambut deru tawa Ari, suasana di meja makan kami pun mencair. Tak lama kemudian Ari pamit pulang. suamiku mengantarkannya sampai teras dan masih menunggu di teras sampai bayangan Ari benar-benar tak terlihat.
“Emangnya harus gitu ya, Bang kalau ngantar Ari? Apa karena rumah Ari depan gang situ jadi Abang tungguin sampai Ari benar-benar ngga kelihatan? Atau Abang takut Ari balik lagi ya… hehe…,” godaku.
“Bapak kau yang bilang, kalau antar tamu, sampai bayangannya tak bisa terlihat,” jawabnya lantas nyelonong ke kamar.
“Abang… Abang…” aku pun menyusulnya.
“Sini…” suamiku sudah duluan masuk kamar.
Selanjutnya kami menunaikan ibadah kami yang satu ini….
* * *

Kamis, 15 Maret 2012

Si Segilima dan Aku


Si segilima yang beberapa tahun terakhir ini menemaniku. Dan entah sampai kapan akan menemaniku. Rencanaku sih 1,5 tahun lagi aku sudah terbebas dari Si segilima ini.
Maafkan aku Si segilima, kesetiaanmu menemaniku selama ini tak mampu ku membalasnya. Aku sebenarnya tak betah tinggal bersamamu. Ditambah lagi akhir-akhir ini semakin banyak saja masalah datang padaku. Dari mulai adanya pembangunan tehadap teman-teman di sekitarmu, sesungguhnya aku lelah melewatinya. Setiap pagi bangun, bersiap dengan rok panjang, jaket, lengkap dengan jilbabnya, dan harus berhati-hati membuka pintu kamar mandi, takut2 mereka tak menguncinya dari dalam. Lagi, aku harus menahan haus saat botol minumku tertinggal di kulkas, menahan lapar atau menahan pipis karna aku males pabila bertemu mereka.
Semenjak aku datang kemari, beberapa tahun lalu, pembangunan segera berlangsung. Until now, pembangunan  tak kunjung usai. Kudengar, Si segilima, teman2 sekitarmu ini akan terus dibangun hingga 2013. Oh, my God… aku enggan membayangkannya. Sekarang, belum banyak perubahan atas pembangunan yang aku lihat, entah benar atau tidak berita itu, aku sesungguhnya tak mengharapkannya. Aku harap mereka segera pergi. Aaamiin.
Aku juga semakin tidak suka tinggal bersamamu, Si segilima. Setelah 2x aku harus kehilangan my roommate disini. Entah apapun katamu, apapun alasanmu, aku membenci ini.
Baiklah, Si segilima, akhirnya perlahan aku bisa memahami dan menerima kesendirianku. Namun apalah dayaku, Si segilima. Kau bukan punyaku yang bisa kuperlakukan semauku sepenuhnya. Saat aku tengah menikmati kesendirianku, benar2 menikmatinya, melakukan apapun bersamamu saja, Sisegilima, mengapa tiba2 aku harus berbagi kau dengan seseorang?! Seseorang yang bukan typeku! Seseorang yang entahlah apa dia akan mengerti permintaanku. Apakah dia tidak akan menyakitiku? Aku takut dia menyakitiku disini, dan sebaliknya aku pun sangat takut menyakitinya. Dan Si segilima hanya diam, tak mampu membelaku. Meskipun kau menyaksikannya jelas.
Kau juga menjadi saksi bisu tangisku 1 tahun lalu yang kemudian terulang beberapa bulan lalu, Si segilima. Entah aku yang salah atau apa, tapi kau tak pandai menghibur. Meski aku tahu kau sangat setia terus memberiku tempat, selalu menerimaku. Tapi kau benar2 tak pandai menghibur, Si segilima. Dan hanya membuatku semakin muak, sedih, ingin segera meninggalkanmu.
Si segilima, mengapa disini, bersamamu, aku tidak betah. Aku selalu sedih…? Apa gerangan salahku? Mengapa aku tak mampu mengatasinya? Mengapa terlalu banyak ketakutan2 yang membebaniku. Dan kau hanya diam, Si segilima. Aku tahu, kau hanya bisa diam. seolah meremehkan masalahku, mengacuhkan rengekan manjaku yang sama sekali tak penting, tak bermanfaat bagimu, Si segilima. Aku tahu itu…
Si Segilima, terima kasih atas kesetiaanmu menerimaku, menampungku, dan setiakawanmu yang menjaga baik rahasiaku. Maafkan keegoisanku melukai badan2mu, kecerobohanku mematahkan bagian2mu, maafkan mencoretimu, memaku badanmu, mendandanimu dengan berbagai tempelan doa, curahan hati, jadwal, perutangan, dll.
Aku sadari segala keterbatasanmu. Dan semoga kita tetap setia bersama sampai tiba waktunya, aku dijemput, aku harus benar2 berpamitan denganmu, meninggalkanmu. Kuharap saat itu tidak lama lagi. Aaamiin. Dan kuharap saat itu kamu tidak sedang sendirian, Si segilima.
Semoga hari2ku bisa kunikmati bersamamu. Semoga malam2ku nyenyak.
Kelak, aku akan tertawa mengingat saat aku tak sekasur lagi dengan pity, menambah jumlah kardus, memiliki kipas ngin dan magic com sendiri, bercerita dengan meirin, meletakkan mukenah dan tas di atas kursi, memasukkan baju ke lemari, menata bros2ku, nyolokin obat nyamuk sebelum menemui eMaz, meninggalkanmu di malam hari karna harus keluar dengan eMaz, menguncimu saat aku mandy atau berangkat ke kampus, memberi aroma masakan pelangi dan bekal dari rumah, matiin lampu sebelum aku tidur, dan menangis di pangkuanmu untuk semua hal. Untuk kepergian teman2ku, untuk eMaz, untuk kehadiran tukang2 tak diharapkan di belakang sana, untuk salah paham dengan ‘mereka’, dan semua.
Dan tetaplah kuat, tetaplah kokoh, sampai tiba waktunya aku benar2 harus pergi meninggalkanmu, tetaplah kokoh. Karna ‘kan kubawa kenangan indah, manis, pahit, saat aku tinggal di Si segilima ini.

Rabu, 28 Desember 2011

Celengan 500an

 Suatu ketika di depan rumah, rumah mertuaku, bersama suamiku tercinta, aku berbincang sampai malam. Di sela perbincangan cintaku dengannya, ada satu hal yang menarik yang aku ingat.
 “Dompetku rusak, Sayang. Kamu mau enggak beliin?” ujarnya.
 “Iya…” jawabku.
 Terus terang aku mencatat dan menggarisbawahi kalimat itu di otakku. Langsung muncul berbagai ide. Bagaimana aku akan memenuhi permintaannya. Bagiku, memberi apa yang dia pinta bukan hanya sebuah pemberian, tapi juga sebuah keshalihahan. Aku selalu ingin menjadi istri sholihah. Itu profesi terindah bagiku. Bahkan sampai mati aku tidak mau pensiun dari profesi itu. Bahkan tanpa sepeser pun gaji aku terima. Bagiku, bersama suamiku, membahagiakan suamiku, menyiapkan segala keperluannya, memenuhi segala permintaannya, adalah tugas sekaligus gaji bagiku.
 Namun, impianku retak. Aku merasa tak sempurna menjadi istri sholihah saat dia membeli sendiri sebuah dompet di hadapanku.
 “Nah, sekarang kau tak usah membelikanku dompet lagi. Aku sudah beli sendiri, Sayang.”
 “Iya…” jawabku sembari melepas helm.
 Kami masuk rumah bersama. Ada yang remuk di hatiku. Tapi ia tak pernah tau. Orang rumah tak ada yang tahu. Aku menyimpannya sendiri, untukku sendiri.
 “Sayang, Mas minta maaf ya,” katanya saat kami memasuki kamar.
 “Kenapa?” tanyaku.
 “Aku beli dompet sendiri. Itu karna aku cinta kamu, Sayang.” Jelasnya. “Aku tidak ingin merepotkanmu,” lanjutnya.
 “Tidak apa-apa, Mas.” Jawabku kala itu.
 Hanya, aku tak pandai menyimpan rahasia. Meskipun aku selalu berusaha menutupi karna aku tak ingin menyakitinya. Dan malam itu aku menangis tanpanya. Aku biarkan dia tertidur lebih awal. Dan kusempatkan menulis sebuah catatan kecil di selembar kertas. Karna aku tak mampu mengungkapkan lewat suara di depannya. Sebuah catatan kecil yang kuberi judul Celengan 500an.
 Celengan 500an
Lihatlah di luar sana Sayang, aku percaya kau masih mampu melihat dan menangkapnya. Baju, sepatu, susu UJ, novel terbaru, tempat laundry baju, sebungkus nasi + sayur sop, semua yang bukan milikku.
Lihatlah.
Mereka semua yang nampak dan bukan milikku.
Dan yang tak nampak, yang tak terlihat,
Yang aku punya adalah sebuah celengan 500an yang aku kumpulkan dari sisa uang belanja yang kau berikan, atau dari kembalian membeli ketela rebus kesukaanmu.
Aku memasukkannya perlahan sekali, agar kau tak tersakiti atau terusik dengan bunyi ‘plethok’ koin 500an itu. Aku menyimpannya jauh dari penglihatanmu. Karna aku tidak ingin kau sedih dan kepikiran dengan tingkahku ini. (kalau kau sempat, lihatlah, masih ada di bawah kolong tempat tidur kita). Tak sedikitpun aku ingin menyakitimu, Sayang. Dengan cara apapun aku tak akan tega menyakitimu.
Bukannya aku tidak perhatian, aku ingat kamu minta itu. Aku sedang menabung, menyisihkan uangku, memilih dan menimbang, lalu memutuskan yang paling bagus, yang paling unik, yang paling special untuk Sang Raja hatiku, tapi aku nggak apa-apa. Aku lebih suka menyimpan rahasia ini, karna aku lebih suka menutupi daripada menyakiti.
Hanya saja, kau terlalu terburu-buru, Sayang. Pelan-pelan saja. Aku sedang menabung, Sayang. Dan tabungan itu selalu kusertai dengan sebaris doa untuk dapat mengabdi seumur hidupku, selamanya…
Tapi, kau sedikit menghancurkannya.
Aku bisa apa. Aku hanyalah perempuan yang ingin selalu menjadi istri sholihah.
 Maka akhirnya aku hanya bisa menerima ini, dan turut senang melihatmu senang dengan dompet barumu. Semoga selamanya aku tetap istiqamah menjaga dan menjalani profesiku, profesi yang sangat kuidam-idamkan sedari muda.

 16 Nopember 2011
 ade’

Kamis, 01 Desember 2011

Mengintip Keikhlasan

Ketika Kau terjatuh dan seseorang berdiri di sampingmu untuk menolongmu, apakah Kau berharap untuk jatuh lagi?
Ketika Kau butuh teman untuk membantu menyelesaikan masalahmu, dan seorang gadis kecil datang untuk membantumu, Apakah Kau berharap dia datang lagi lain waktu tanpa membantumu? Apakah kau butuh dia saat bahagia? Pernahkah terpikir olehmu untuk terus hidup dalam "jepitan masalah"?
temukan keikhlasan... keikhlasan menerima dia dalam bentuk apapun, bukan karena kebiasaan yang dia berikan untukmu... dia ada karena dia mau, bukan karena masalahmu...

Kesabaran

Kesabaran adalah benteng ketangguhan
Maka bentengilah jiwamu dengan kesabaran
Sesungguhnya kesabaran adalah gudang,
Pembuka jalan dari segala kebuntuan

Janganlah kau bersempit diri
Dalam menghadapi segala masalah
Sesungguhnya mendung ‘kan lenyap
Tanpa tiupan angina yang kau hembuskan

Terkadang jiwa goyang
Akibat badai kehidupan
Padahal setiap kesulitan adalah kemudahan
Maka janganlah engkau tertipu


Ade’
17 Maret 2007

cerpenQ

Rabu, 23 Juni 2010

Fajar di Kota Senja

“Bagaimana kalau kamu liburan ke rumah Ibumu saja?” tawar Ayah.
“Aku nggak mau. Ibu tidak sayang kita, Yah. Buktinya Ibu menikah dengan lelaki lain,” tolak Fajar.
“Tapi seorang Ibu tidak mungkin menolak anaknya. Ibumu menikah lagi karena masalah dengan Ayah, itu pilihan Ibumu…” kata Ayah.
“Nggak… Udahlah, Yah. Izinkan aku liburan ke Bali sama teman-teman,” pinta Fajar.
Ayah menarik napas panjang. Sebenarnya Ayah tidak suka kalau Fajar pergi ke Bali.
“Yah, kok nglamun sih…!” gertak Fajar. “Aku sama teman-teman kok, Yah… nggak sendirian. Semua anak perikanan ’07 juga ikut… Udah, Ayah tidak usah khawatir…”
Dengan berat hati akhirnya Ayah megizinkan. Meskipun begitu, Ayah memberikan sejumlah wejangan, “Begitu sampai, kabari Ayah. Begitu juga kalau ada apa-apa.”
* * *
“Argh…” Fajar memegangi kepalanya.
Tap…tap…tap… Suara seseorang berlari cepat meninggalkan ruangan tempat Fajar berbaring seketika melihat Fajar sadar. Tak lama kemudian muncul dua orang masuk menghampiri Fajar.
“Alhamdulillah kamu sudah siuman. Kami menemukanmu terdampar di tepi pantai di belakang rumah kami kemarin…, “ lelaki berbaju hitam seusia Ayahnya menjelaskan panjang lebar.
“Maaf Anda siapa? Dimana ini?” tanya Fajar
“Saya Made, ini anak saya, Senja…”
“Hai, Fajar…” sapa Senja sembari tersenyum lembut.
“Argh…” Fajar kembali mengerang sakit sambil memegangi kepalanya.
“Biarkan dia istirahat dulu, Ja… Mungkin dia lelah dan masih lelah dan pusing. Saya rasa kapalnya terseret ombak dan terombang-ambing di laut, hingga akhirnya ia hanyut dan terdampar sampai disini,” jelas lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Made.
“Ya sudah, aku buatin makan ya. Pasti lapar,” ujar Senja manis.
Beberapa jenak kemudian Senja telah menyuguhkan semangkuk berisi bubur yang dibuat khusus untuk Fajar. Fajar terlihat lahap menikmatinya.
Senja menatap Fajar lama. Tirus.
“Ada apa?” Fajar berhenti makan dan memandangi Senja.
“Ah, eh, eng…nggak apa. Terusin aja makannya,” Senja gelagapan kepergok memandangi Fajar.
“Oh ya, aku harus menghubungi Ayah. Dia pasti khawatir! Mana tasku? Mana handphone-ku?”
“Tenang dulu… Nanti aku bantu hubungi ayahmu. Ketika kami menemukanmu, kamu tanpa identitas, tanpa tas, hanya baju yang melekat di badanmu. sekarang kamu harus istirahat dulu. Kamu belum sembuh benar…Istirahatlah dulu disini barang beberapa hari,” suara lembut Senja.
“Tidak! Aku harus beri tahu Ayah.”
“Ya sudah kita telepon ayahmu, tapi kamu tidak kuizinkan pulang sampai kamu benar-benar sembuh, Jar…!” tegas Senja.
Senja menemani Fajar menghubungi ayahnya di sebuah wartel.
“Nggak papa kok, Yah… Tapi Fajar masih pusing, jadi pulangnya mungkin beberapa hari lagi. Fajar juga mau cari teman-teman dulu,” kata Fajar di telepon.
* * *
Hari ini hari terakhir Fajar di rumah Senja. Setelah beberapa hari di rumah Senja dan merasa semakin sehat, Fajar memutuskan pulang hari ini.
“Ayah minta aku pulang, Ja… aku tidak bias disini terus. Ini bukan rumahku,”
“Tapi kami menerimamu dengan baik disini. Apa kamu tidak bahagia tinggal disini?” tanya Senja.
“Tidak begitu. Aku juga punya rumah sendiri. Aku punya kehidupan sendiri di Surabaya, dengan Ayah…”
Senja terdiam. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Fajar. Saat ia menemukan Fajar di pantai di belakang rumahnya. Ia teringat bagaimana canda mereka di belakang rumah, mendengarkan cerita masa kecil Fajar. Perkenalan singkat yang membuat Senja berbunga-bunga, bahagia.
“Senja…”
”Tapi, Jar…Aku…aku…” seperti ada yang tercekat di tenggorokan Senja.
Tangis Senja pecah…
“Senja…”
“Fajar…” suara Senja dan Fajar bersamaan.
“Aku… aku… aku saying kamu, Jar!” kata Senja nyaris tak terdengar.
Fajar terdiam. Senja tersedu…
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu…” ucap Fajar pelan.
“Aku ingin menjadi pendampingmu. Aku ingin seperti Siti Aisyah, istri Rasul yang menemani Beliau hingga akhir hayat Beliau. Hingga kamu wafat di pangkuanku,” tutur Senja.
“Maaf Senja, tapi itu tak mungkin…”
“Apanya yang tak mungkin? Kenapa?” bentak Senja keras.
“Kamu tak mungkin bisa seperti Siti Aisyah.”
Senja tertunduk, Fajar menghela napas panjang.
“Ja, kamu itu laki-laki…” tegas Fajar pasti.
Fajar pergi.
Senja masih menangis di tepi pantai indah Sanur.
* * *
Beberapa hari setelah kepergian Fajar, Senja baru tahu bahwa Fajar adalah anak pertama ibunya dari pernikannya dengan seorang pria Surabaya.

Zamrud N.H.

analisis isolasi dan pemurnian senyawa metode KLT


. Analisa data
Teknik isolasi dilakukan dengan melarutkan sampel yang berupa serbuk putih dengan methanol 2 mL. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sampel yang diberikan bersifat polar, karena larut dalam pelarut polar (metanol). Larutan tersebut ditotolkan pada plat KLT sepanjang 20 cm dengan jarak 0,5 cm hingga larutan sampel tersebut habis. Metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif digunakan dalam isolasi senyawa pada percobaan ini karena jangkauan analisisnya luas, dapat dilaksanakan dengan cepat dan biaya relatif murah serta hanya memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit. Selanjutnya plat KLT tersebut dimasukkan ke dalam chamber yang telah diisi oleh eluen heksana, kloroform, dan methanol sebanyak  20 mL dengan perbandingan 7:2:1. Eluen yang digunakan adalah heksana, kloroform, dan methanol kerena eluen tersebut dapat membawa sampel terpisah (mengisolasi) ketika dimasukkan ke dalam chamber. Elusi dibiarkan berjalan hingga eluen mencapai batas garis atas plat KLT yang ada di dalam chamber ditunggu sampai eluen terangkat hingga mencapai batas atas plat KLT.
Plat yang telah dilewati eluen tersebut, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan mengering, untuk kemudian disinari dengan lampu UV agar noda yang tercetak pada plat terlihat dengan jelas. Panjang gelombang UV yang digunakan adalah 254 nm. Panjang gelombang 254 nm merupakan panjang gelomban yang paling cocok karena degan panjang gelombang ini noda pada plat dapat terlihat jelas. Pita noda yang terbentuk ditandai dengan pensil agar lebih jelas dalam memisahkan noda. Pita noda tersebut merupakan senyawa yang berhasil dipisahkan dan selanjutnya akan dimurnikan serta diidentifikasi.
Setelah didapat pita noda, noda tersebut dikeruk dan diletakkan pada corong yang sudah diberi kertas saring. Dan kemudian dibasahi dengan 2 ml methanol + 1 ml heksan. Selanjutya dilakukan rekristalisasi untuk mendapatkan kristal senyawa tersebut kembali dengan alat hot plate magnetic stirrer. 2 ml etanol berfungsi untuk melarutkan senyawa yang ada pada pita noda, sedangkan   1 ml heksan berfungsi agar proses rekristalisasi berlangsung lebih cepat. Larutan tersebut ditaruh diatas hot plate dan diputar-putar agar Kristal terbentuk kembali. Proses rekristalisasi ini bertujuan ntuk mendapatkan senyawa dengan kemurnian tinggi.
Kristal yang terbentuk tersebut kemudian dianalisis dalam spectrum IR. Pada awal, krristal sampel yang terbentuk dicampur dengan KBr, dan dihaluskan dengan mortar hingga homogen, setelah homogen, dibuat pellet dengan alat mini hand press, dan diletakkan pada tempat sampel dan dianalisis dengan spectrum IR sehingga didapatkan kurva bilangan gelombang vs transmitan. KBr digunakan untuk membantu dalam proses pemadatan (pellet) senyawa sampel yang akan dianalisis. Dalam analisis spektrum IR digunakan KBr karena senyawa KBr merupakan senyawa yang tidak terbaca pada IR sehingga hasil yang terbaca IR adalah hanya senyawa sampel saja. (kurva spectra IR pada lampiran).
Dari hasil analisis kurva spectra IR, didapat hasil senyawa mengandung gugus –OH pada bilangan gelombang 3421.1; gugus alkil (C-H) pada bilangan gelombang 2918.9; gugus aril (C-C) pada bilangan gelombang 1433.8; gugus karbonil (C-O)dan gugus siano (C-N) pada bilangan gelombang 1244.5; dan gugus benzene (C6H6) pada bilangan gelombang 1666.4; 1614.6 dan 1500.


G. Simpulan
Dalam percobaan ini, simpulan yang kami peroleh adalah:
1.      Teknik isolasi yang dilakukan adalah dengan metode ekstraksi.
2.      Untuk mendapatkan senyawa yang ingin dipisahkan dipilih pelarut methanol. Sehingga dapat disimpulkan kemungkinan senyawa sampel adalah senyawa polar.
3.      Teknik pemisahan yang dilakukan adalah dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif.
4.      Untuk mendapatkan senyawa yang murni, dalam percobaan ini dilakukan rekristalisasi
5.      Senyawa dalam percobaan ini merupakan senyawa polar dan berdasarkan analisis IR didapatkan hasil senyawa ini mengandung gugus fungsi –OH, gugus alkil (C-H), gugus aril (C-C), gugus karbonil (C-O), gugus siano (C-N), serta gugus benzena.