Suatu ketika di depan rumah, rumah mertuaku, bersama suamiku tercinta, aku berbincang sampai malam. Di sela perbincangan cintaku dengannya, ada satu hal yang menarik yang aku ingat.
“Dompetku rusak, Sayang. Kamu mau enggak beliin?” ujarnya.
“Iya…” jawabku.
Terus terang aku mencatat dan menggarisbawahi kalimat itu di otakku. Langsung muncul berbagai ide. Bagaimana aku akan memenuhi permintaannya. Bagiku, memberi apa yang dia pinta bukan hanya sebuah pemberian, tapi juga sebuah keshalihahan. Aku selalu ingin menjadi istri sholihah. Itu profesi terindah bagiku. Bahkan sampai mati aku tidak mau pensiun dari profesi itu. Bahkan tanpa sepeser pun gaji aku terima. Bagiku, bersama suamiku, membahagiakan suamiku, menyiapkan segala keperluannya, memenuhi segala permintaannya, adalah tugas sekaligus gaji bagiku.
Namun, impianku retak. Aku merasa tak sempurna menjadi istri sholihah saat dia membeli sendiri sebuah dompet di hadapanku.
“Nah, sekarang kau tak usah membelikanku dompet lagi. Aku sudah beli sendiri, Sayang.”
“Iya…” jawabku sembari melepas helm.
Kami masuk rumah bersama. Ada yang remuk di hatiku. Tapi ia tak pernah tau. Orang rumah tak ada yang tahu. Aku menyimpannya sendiri, untukku sendiri.
“Sayang, Mas minta maaf ya,” katanya saat kami memasuki kamar.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku beli dompet sendiri. Itu karna aku cinta kamu, Sayang.” Jelasnya. “Aku tidak ingin merepotkanmu,” lanjutnya.
“Tidak apa-apa, Mas.” Jawabku kala itu.
Hanya, aku tak pandai menyimpan rahasia. Meskipun aku selalu berusaha menutupi karna aku tak ingin menyakitinya. Dan malam itu aku menangis tanpanya. Aku biarkan dia tertidur lebih awal. Dan kusempatkan menulis sebuah catatan kecil di selembar kertas. Karna aku tak mampu mengungkapkan lewat suara di depannya. Sebuah catatan kecil yang kuberi judul Celengan 500an.
Celengan 500an
Lihatlah di luar sana Sayang, aku percaya kau masih mampu melihat dan menangkapnya. Baju, sepatu, susu UJ, novel terbaru, tempat laundry baju, sebungkus nasi + sayur sop, semua yang bukan milikku.
Lihatlah.
Mereka semua yang nampak dan bukan milikku.
Dan yang tak nampak, yang tak terlihat,
Yang aku punya adalah sebuah celengan 500an yang aku kumpulkan dari sisa uang belanja yang kau berikan, atau dari kembalian membeli ketela rebus kesukaanmu.
Aku memasukkannya perlahan sekali, agar kau tak tersakiti atau terusik dengan bunyi ‘plethok’ koin 500an itu. Aku menyimpannya jauh dari penglihatanmu. Karna aku tidak ingin kau sedih dan kepikiran dengan tingkahku ini. (kalau kau sempat, lihatlah, masih ada di bawah kolong tempat tidur kita). Tak sedikitpun aku ingin menyakitimu, Sayang. Dengan cara apapun aku tak akan tega menyakitimu.
Bukannya aku tidak perhatian, aku ingat kamu minta itu. Aku sedang menabung, menyisihkan uangku, memilih dan menimbang, lalu memutuskan yang paling bagus, yang paling unik, yang paling special untuk Sang Raja hatiku, tapi aku nggak apa-apa. Aku lebih suka menyimpan rahasia ini, karna aku lebih suka menutupi daripada menyakiti.
Hanya saja, kau terlalu terburu-buru, Sayang. Pelan-pelan saja. Aku sedang menabung, Sayang. Dan tabungan itu selalu kusertai dengan sebaris doa untuk dapat mengabdi seumur hidupku, selamanya…
Tapi, kau sedikit menghancurkannya.
Aku bisa apa. Aku hanyalah perempuan yang ingin selalu menjadi istri sholihah.
Maka akhirnya aku hanya bisa menerima ini, dan turut senang melihatmu senang dengan dompet barumu. Semoga selamanya aku tetap istiqamah menjaga dan menjalani profesiku, profesi yang sangat kuidam-idamkan sedari muda.
16 Nopember 2011
ade’
pelangi itu indah...
BalasHapus