Rabu, 23 Juni 2010
“Bagaimana kalau kamu liburan ke rumah Ibumu saja?” tawar Ayah.
“Aku nggak mau. Ibu tidak sayang kita, Yah. Buktinya Ibu menikah dengan lelaki lain,” tolak Fajar.
“Tapi seorang Ibu tidak mungkin menolak anaknya. Ibumu menikah lagi karena masalah dengan Ayah, itu pilihan Ibumu…” kata Ayah.
“Nggak… Udahlah, Yah. Izinkan aku liburan ke Bali sama teman-teman,” pinta Fajar.
Ayah menarik napas panjang. Sebenarnya Ayah tidak suka kalau Fajar pergi ke Bali.
“Yah, kok nglamun sih…!” gertak Fajar. “Aku sama teman-teman kok, Yah… nggak sendirian. Semua anak perikanan ’07 juga ikut… Udah, Ayah tidak usah khawatir…”
Dengan berat hati akhirnya Ayah megizinkan. Meskipun begitu, Ayah memberikan sejumlah wejangan, “Begitu sampai, kabari Ayah. Begitu juga kalau ada apa-apa.”
* * *
“Argh…” Fajar memegangi kepalanya.
Tap…tap…tap… Suara seseorang berlari cepat meninggalkan ruangan tempat Fajar berbaring seketika melihat Fajar sadar. Tak lama kemudian muncul dua orang masuk menghampiri Fajar.
“Alhamdulillah kamu sudah siuman. Kami menemukanmu terdampar di tepi pantai di belakang rumah kami kemarin…, “ lelaki berbaju hitam seusia Ayahnya menjelaskan panjang lebar.
“Maaf Anda siapa? Dimana ini?” tanya Fajar
“Saya Made, ini anak saya, Senja…”
“Hai, Fajar…” sapa Senja sembari tersenyum lembut.
“Argh…” Fajar kembali mengerang sakit sambil memegangi kepalanya.
“Biarkan dia istirahat dulu, Ja… Mungkin dia lelah dan masih lelah dan pusing. Saya rasa kapalnya terseret ombak dan terombang-ambing di laut, hingga akhirnya ia hanyut dan terdampar sampai disini,” jelas lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Made.
“Ya sudah, aku buatin makan ya. Pasti lapar,” ujar Senja manis.
Beberapa jenak kemudian Senja telah menyuguhkan semangkuk berisi bubur yang dibuat khusus untuk Fajar. Fajar terlihat lahap menikmatinya.
Senja menatap Fajar lama. Tirus.
“Ada apa?” Fajar berhenti makan dan memandangi Senja.
“Ah, eh, eng…nggak apa. Terusin aja makannya,” Senja gelagapan kepergok memandangi Fajar.
“Oh ya, aku harus menghubungi Ayah. Dia pasti khawatir! Mana tasku? Mana handphone-ku?”
“Tenang dulu… Nanti aku bantu hubungi ayahmu. Ketika kami menemukanmu, kamu tanpa identitas, tanpa tas, hanya baju yang melekat di badanmu. sekarang kamu harus istirahat dulu. Kamu belum sembuh benar…Istirahatlah dulu disini barang beberapa hari,” suara lembut Senja.
“Tidak! Aku harus beri tahu Ayah.”
“Ya sudah kita telepon ayahmu, tapi kamu tidak kuizinkan pulang sampai kamu benar-benar sembuh, Jar…!” tegas Senja.
Senja menemani Fajar menghubungi ayahnya di sebuah wartel.
“Nggak papa kok, Yah… Tapi Fajar masih pusing, jadi pulangnya mungkin beberapa hari lagi. Fajar juga mau cari teman-teman dulu,” kata Fajar di telepon.
* * *
Hari ini hari terakhir Fajar di rumah Senja. Setelah beberapa hari di rumah Senja dan merasa semakin sehat, Fajar memutuskan pulang hari ini.
“Ayah minta aku pulang, Ja… aku tidak bias disini terus. Ini bukan rumahku,”
“Tapi kami menerimamu dengan baik disini. Apa kamu tidak bahagia tinggal disini?” tanya Senja.
“Tidak begitu. Aku juga punya rumah sendiri. Aku punya kehidupan sendiri di Surabaya, dengan Ayah…”
Senja terdiam. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Fajar. Saat ia menemukan Fajar di pantai di belakang rumahnya. Ia teringat bagaimana canda mereka di belakang rumah, mendengarkan cerita masa kecil Fajar. Perkenalan singkat yang membuat Senja berbunga-bunga, bahagia.
“Senja…”
”Tapi, Jar…Aku…aku…” seperti ada yang tercekat di tenggorokan Senja.
Tangis Senja pecah…
“Senja…”
“Fajar…” suara Senja dan Fajar bersamaan.
“Aku… aku… aku saying kamu, Jar!” kata Senja nyaris tak terdengar.
Fajar terdiam. Senja tersedu…
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu…” ucap Fajar pelan.
“Aku ingin menjadi pendampingmu. Aku ingin seperti Siti Aisyah, istri Rasul yang menemani Beliau hingga akhir hayat Beliau. Hingga kamu wafat di pangkuanku,” tutur Senja.
“Maaf Senja, tapi itu tak mungkin…”
“Apanya yang tak mungkin? Kenapa?” bentak Senja keras.
“Kamu tak mungkin bisa seperti Siti Aisyah.”
Senja tertunduk, Fajar menghela napas panjang.
“Ja, kamu itu laki-laki…” tegas Fajar pasti.
Fajar pergi.
Senja masih menangis di tepi pantai indah Sanur.
* * *
Beberapa hari setelah kepergian Fajar, Senja baru tahu bahwa Fajar adalah anak pertama ibunya dari pernikannya dengan seorang pria Surabaya.
Zamrud N.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar