Mengenai Saya

Foto saya
Azi... menatap bumi Alloh yang indah pada 14 Oktober 1991 dari seorang Ayah (Jombang) dan Ibu(Mojokerto). Aku membiarkan jari-jemariku menari bersama pena di atas kertas-kertas putih itu. aku suka bereksperimen dengan sayur dan segala bumbu dapur, karena aku suka memasak. Menikah muda adalah impianku. Menjadi istri sholihah adalah cita-citaku, dan membahagiakan Umi' adalah harapanku. umi' adalah nafas. umi' adalah nyawa.. umi' adalah bagian dalam hidupku...

Minggu, 26 Agustus 2012

CINTA


Pagi ini hari minggu. Kami makan nasi goreng bersama. Kebetulan ada teman yang sedang melintas depan rumah. Kami pun mengajaknya turut makan bersama.
Perkenalkan sebelumnya, namaku Azi, Azi N. Habibah. Kami tidaklah lengkap tanpa memperkenalkan Adit, suamiku.
“Hei, Ari. Apa kabar? Wah, kebetulan sekali nih, kami sedang bikin nasi goreng, kamu sudah sarapan belum?” tanya suamiku.
“Eh, iya. Baik. Lagi jalan-jalan nih.”
“Ayo ikut sarapan dulu lah…” ajak kami.
Sebenarnya bukan kebetulan juga sih ada Ari. Rumahnya yang ada di mulut gang kontrakan kami membuat kami sering bertemu. Hampir tiap hari Ari lari pagi keliling gang. Dan akhirnya Ari pun dengan malu-malu mengangguk tanda setuju.
*  * *
Suamiku adalah suami romantis nomor 1 di seluruh dunia versi hatiku.
Aku mengambilkan sepiring nasi goreng lengkap dengan sepotong telur dan taburan bawang goreng renyah kesukaan suamiku. Kemudian aku mengambil piring lain untuk tamu kami, Ari. Dan sedikit yang tersisa, kuletakkan di atas piringku.
Saat sedang menyendok nasi, suamiku berkata, “Sayang, apalah arti sepiring nasi goreng di depanku ini jika ada sesendok nasi goreng di tanganmu yang bisa kau suapkan untukku.”
Mataku melotot kaget. Tapi aku suka dengan cara manjanya saat minta disuapin.
“Satu kali aja ya. Malu sama Ari,” ujarku sembari menyuapkan sesendok nasi untuknya.
“Hee.. Ngga apa, Zi,” kata Ari.
Izinkan aku menceritakan sebelumnya bahwa Ari pernah mendekatiku jauh sebelum aku mengenal suamiku. Namun dalam perjalanan, aku merasa tidak ada kecocokan dengan Ari. Aku lebih senang berteman saja lah dengan Ari. Beda halnya dengan Ari. Beberapa bulan sebelum lamaran suamiku datang, Ari telah mencoba melamarku, namun karena aku sudah mantap menjatuhkan hatiku pada calon suamiku saat itu, yakni Adit, dengan halus aku menolaknya. Hanya saja, aku sempat kaget ketika Ari berkata, “Biarkan aku ada di hidupmu, meskipun aku tak bisa menjadi suamimu.”
Aku telah menceritakan ini pada suamiku sebelum kami menikah. Reaksinya biasa saja. Bahkan saat kami telah menikah dan mengontrak rumah di dekat tempat kerja suamiku, lalu beberapa hari kemudian Ari membeli sebuah rumah mewah di depan gang masuk rumah kontrakan kami, suamiku pun biasa saja. Malah kami pernah berkunjung ke rumah Ari yang ukurannya sekitar tiga kali kontrakan kami saat lebaran kemarin.
Suamiku sering bertemu Ari karena setiap berangkat dan pulang kerja melewati rumah mewah Ari. Suamiku menyapanya dengan ramah. Namun suamiku pun berpesan agar aku tidak menerima tamu laki-laki kecuali Bapak saat suamiku tidak ada. Maka sesering apapun Ari wara-wiri di gang, aku cuek saja. Kadang Ari menyapaku sekedar bertanya dari mana atau mau kemana.
“Maaf ya, cuma ada nasi goreng nih, Ri,” ucap suamiku.
“Ngga apa, enak kok masakannya Azi,” balas Ari.
“Iya dong… Istrinya Adit…” suamiku mengalungkan lengannya ke leherku. “Sayang, ini adalah nasi goreng terlezat yang pernah masuk mulutku. Makasih ya, Sayang…”
“Iya, Bang…”
“Waah, kamu harus berbagi nasi goreng terlezat buatan istrimu denganku, Dit. Haha…” tawa Ari. Pahit.
“Tidak, Ar. Nasi goreng yang ada di piringmu berbeda dengan yang ada di piringku.”
“Loh, apanya yang beda? Kan yang bikin sama. Azi.”
“Haha…” suamiku terkekeh pelan. “Tentu saja beda, Ar. Karena setiap sentuhan Azi pada piringku, sendokku, dan segala yang disajikan di piringku ini diiringi dengan cinta. Jadi aku ini sedang makan sepiring cinta.”
“Bagaimana kamu membedakannya? Bagaimana kalau yang Azi sajikan untukku juga diiringi cinta?” tanya Ari.
Suamiku menatapku. Aku juga menatapnya. Kami saling pandang.
“Cinta bukanlah sekeping dunia, tapi cinta adalah kepercayaan,” jawab suamiku.
“Bagaimana kalau kepercayaanmu salah?”
“Baiklah Ari… Aku harus mengatakan kepadamu…” suamiku menarik napas panjang. “Rumah tangga kami dibangun dengan bata sakinah, batu mawaddah, dan semen rahmah. Lihat pintu masuk rumah itu… disana terukir amanah. Lihat pintu kamar kami, disana tertanam barokah. Lihat sepiring nasi goreng di depanku, ada karomah. Apalagi yang perlu aku ragukan dari bidadari cantik di samping kiriku ini?”
Aku tersenyum. Kugenggam erat tangan suamiku.
“Aku menerima Bang Adit sebagai suami bukan sekedar karena cinta. Cinta bisa terkikis oleh emosi, tergerus oleh harta, terkuras oleh airmata. Namun kami ingin menegakkan perintah agama. Barangsiapa yang telah menikah maka ia telah melengkapi separuh agamanya. Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, dalam memelihara yang separuhnya lagi. hadist riwayat Thabrani. Dan kami telah menyepakati ini,” jelasku.
Kulihat Ari terdiam. Nasi di sendoknya pun dibiarkannya saja.
“Tak adakah emosi yang akan melunturkan kekuatan cinta kalian?” tanya Ari kemudian.
“Jadilah manusia yang pandai mengendalikan emosi. Bukan dikuasai emosi. Kami sedang belajar. Dan aku harap kau mau belajar juga,” jelas suamiku.
“Bagaimana jika kamu sedang dikuasai emosi, hingga melukai istrimu. Sedang tak ada orang lain di rumah ini yang bisa meredammu dan menolong istrimu?”
“Allah yang akan menolongnya. Allah yang akan terus menjaga dan melindungi istriku. Kami membaca ta’awaudz sebelum tidur dan lagi, sesaat setelah bangun tidur.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, Sayang. Berjuta lelaki di hadapanku, kau tetap pemilik hatiku.”
“Milik-Nya, istriku…” tangannya menunjuk ke atas.
Aku suka sekali jawaban suamiku kali ini.
Mata Ari berkaca-kaca.
“Menikahlah… Kau tahu? Cinta sejatimu insya Allah ada di luar sana,” suamiku dengan senyum khasnya menasehati Ari. “Lebih tepatnya aku memohon, Ar… Menikahlah. Dan keluarlah dari kehidupan kami,” suamiku tampak serius.
Ari tersenyum hambar. “Bukankah hanya pada-Nya kamu berhak memohon, Dit!”
Suamiku kembali tersenyum. Manis sekali. Aku suka sekali memperhatikan suamiku saat tersenyum. Apalagi kalau dilihat dari posisi samping sepertiku saat ini, suamiku manis sekali.
“Ya. Sudah pintar kali kau ini. Hahaha…” suamiku terkekeh.
Disambut deru tawa Ari, suasana di meja makan kami pun mencair. Tak lama kemudian Ari pamit pulang. suamiku mengantarkannya sampai teras dan masih menunggu di teras sampai bayangan Ari benar-benar tak terlihat.
“Emangnya harus gitu ya, Bang kalau ngantar Ari? Apa karena rumah Ari depan gang situ jadi Abang tungguin sampai Ari benar-benar ngga kelihatan? Atau Abang takut Ari balik lagi ya… hehe…,” godaku.
“Bapak kau yang bilang, kalau antar tamu, sampai bayangannya tak bisa terlihat,” jawabnya lantas nyelonong ke kamar.
“Abang… Abang…” aku pun menyusulnya.
“Sini…” suamiku sudah duluan masuk kamar.
Selanjutnya kami menunaikan ibadah kami yang satu ini….
* * *