Pagi ini hari minggu. Kami makan nasi goreng bersama.
Kebetulan ada teman yang sedang melintas depan rumah. Kami pun mengajaknya
turut makan bersama.
Perkenalkan sebelumnya, namaku Azi, Azi N. Habibah. Kami
tidaklah lengkap tanpa memperkenalkan Adit, suamiku.
“Hei, Ari. Apa kabar? Wah, kebetulan sekali nih, kami sedang
bikin nasi goreng, kamu sudah sarapan belum?” tanya suamiku.
“Eh, iya. Baik. Lagi jalan-jalan nih.”
“Ayo ikut sarapan dulu lah…” ajak kami.
Sebenarnya bukan kebetulan juga sih ada Ari. Rumahnya yang
ada di mulut gang kontrakan kami membuat kami sering bertemu. Hampir tiap hari
Ari lari pagi keliling gang. Dan akhirnya Ari pun dengan malu-malu mengangguk
tanda setuju.
* * *
Suamiku adalah suami romantis nomor 1 di seluruh dunia versi
hatiku.
Aku mengambilkan sepiring nasi goreng lengkap dengan
sepotong telur dan taburan bawang goreng renyah kesukaan suamiku. Kemudian aku
mengambil piring lain untuk tamu kami, Ari. Dan sedikit yang tersisa, kuletakkan
di atas piringku.
Saat sedang menyendok nasi, suamiku berkata, “Sayang, apalah
arti sepiring nasi goreng di depanku ini jika ada sesendok nasi goreng di
tanganmu yang bisa kau suapkan untukku.”
Mataku melotot kaget. Tapi aku suka dengan cara manjanya
saat minta disuapin.
“Satu kali aja ya. Malu sama Ari,” ujarku sembari menyuapkan
sesendok nasi untuknya.
“Hee.. Ngga apa, Zi,” kata Ari.
Izinkan aku menceritakan sebelumnya bahwa Ari pernah
mendekatiku jauh sebelum aku mengenal suamiku. Namun dalam perjalanan, aku
merasa tidak ada kecocokan dengan Ari. Aku lebih senang berteman saja lah
dengan Ari. Beda halnya dengan Ari. Beberapa bulan sebelum lamaran suamiku
datang, Ari telah mencoba melamarku, namun karena aku sudah mantap menjatuhkan
hatiku pada calon suamiku saat itu, yakni Adit, dengan halus aku menolaknya.
Hanya saja, aku sempat kaget ketika Ari berkata, “Biarkan aku ada di hidupmu,
meskipun aku tak bisa menjadi suamimu.”
Aku telah menceritakan ini pada suamiku sebelum kami
menikah. Reaksinya biasa saja. Bahkan saat kami telah menikah dan mengontrak
rumah di dekat tempat kerja suamiku, lalu beberapa hari kemudian Ari membeli
sebuah rumah mewah di depan gang masuk rumah kontrakan kami, suamiku pun biasa
saja. Malah kami pernah berkunjung ke rumah Ari yang ukurannya sekitar tiga
kali kontrakan kami saat lebaran kemarin.
Suamiku sering bertemu Ari karena setiap berangkat dan
pulang kerja melewati rumah mewah Ari. Suamiku menyapanya dengan ramah. Namun
suamiku pun berpesan agar aku tidak menerima tamu laki-laki kecuali Bapak saat
suamiku tidak ada. Maka sesering apapun Ari wara-wiri di gang, aku cuek saja.
Kadang Ari menyapaku sekedar bertanya dari mana atau mau kemana.
“Maaf ya, cuma ada nasi goreng nih, Ri,” ucap suamiku.
“Ngga apa, enak kok masakannya Azi,” balas Ari.
“Iya dong… Istrinya Adit…” suamiku mengalungkan lengannya ke
leherku. “Sayang, ini adalah nasi goreng terlezat yang pernah masuk mulutku.
Makasih ya, Sayang…”
“Iya, Bang…”
“Waah, kamu harus berbagi nasi goreng terlezat buatan
istrimu denganku, Dit. Haha…” tawa Ari. Pahit.
“Tidak, Ar. Nasi goreng yang ada di piringmu berbeda dengan
yang ada di piringku.”
“Loh, apanya yang beda? Kan yang bikin sama. Azi.”
“Haha…” suamiku terkekeh pelan. “Tentu saja beda, Ar. Karena
setiap sentuhan Azi pada piringku, sendokku, dan segala yang disajikan di
piringku ini diiringi dengan cinta. Jadi aku ini sedang makan sepiring cinta.”
“Bagaimana kamu membedakannya? Bagaimana kalau yang Azi
sajikan untukku juga diiringi cinta?” tanya Ari.
Suamiku menatapku. Aku juga menatapnya. Kami saling pandang.
“Cinta bukanlah sekeping dunia, tapi cinta adalah
kepercayaan,” jawab suamiku.
“Bagaimana kalau kepercayaanmu salah?”
“Baiklah Ari… Aku harus mengatakan kepadamu…” suamiku
menarik napas panjang. “Rumah tangga kami dibangun dengan bata sakinah, batu
mawaddah, dan semen rahmah. Lihat pintu masuk rumah itu… disana terukir amanah.
Lihat pintu kamar kami, disana tertanam barokah. Lihat sepiring nasi goreng di
depanku, ada karomah. Apalagi yang perlu aku ragukan dari bidadari cantik di
samping kiriku ini?”
Aku tersenyum. Kugenggam erat tangan suamiku.
“Aku menerima Bang Adit sebagai suami bukan sekedar karena
cinta. Cinta bisa terkikis oleh emosi, tergerus oleh harta, terkuras oleh airmata.
Namun kami ingin menegakkan perintah agama. Barangsiapa
yang telah menikah maka ia telah melengkapi separuh agamanya. Dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah, dalam memelihara yang separuhnya lagi. hadist
riwayat Thabrani. Dan kami telah menyepakati ini,” jelasku.
Kulihat Ari terdiam. Nasi di sendoknya pun dibiarkannya
saja.
“Tak adakah emosi yang akan melunturkan kekuatan cinta
kalian?” tanya Ari kemudian.
“Jadilah manusia yang pandai mengendalikan emosi. Bukan
dikuasai emosi. Kami sedang belajar. Dan aku harap kau mau belajar juga,” jelas
suamiku.
“Bagaimana jika kamu sedang dikuasai emosi, hingga melukai
istrimu. Sedang tak ada orang lain di rumah ini yang bisa meredammu dan
menolong istrimu?”
“Allah yang akan menolongnya. Allah yang akan terus menjaga
dan melindungi istriku. Kami membaca ta’awaudz sebelum tidur dan lagi, sesaat
setelah bangun tidur.”
Aku tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, Sayang. Berjuta
lelaki di hadapanku, kau tetap pemilik hatiku.”
“Milik-Nya, istriku…” tangannya menunjuk ke atas.
Aku suka sekali jawaban suamiku kali ini.
Mata Ari berkaca-kaca.
“Menikahlah… Kau tahu? Cinta sejatimu insya Allah ada di
luar sana,” suamiku dengan senyum khasnya menasehati Ari. “Lebih tepatnya aku
memohon, Ar… Menikahlah. Dan keluarlah dari kehidupan kami,” suamiku tampak
serius.
Ari tersenyum hambar. “Bukankah hanya pada-Nya kamu berhak
memohon, Dit!”
Suamiku kembali tersenyum. Manis sekali. Aku suka sekali
memperhatikan suamiku saat tersenyum. Apalagi kalau dilihat dari posisi samping
sepertiku saat ini, suamiku manis sekali.
“Ya. Sudah pintar kali kau ini. Hahaha…” suamiku terkekeh.
Disambut deru tawa Ari, suasana di meja makan kami pun
mencair. Tak lama kemudian Ari pamit pulang. suamiku mengantarkannya sampai
teras dan masih menunggu di teras sampai bayangan Ari benar-benar tak terlihat.
“Emangnya harus gitu ya, Bang kalau ngantar Ari? Apa karena
rumah Ari depan gang situ jadi Abang tungguin sampai Ari benar-benar ngga
kelihatan? Atau Abang takut Ari balik lagi ya… hehe…,” godaku.
“Bapak kau yang bilang, kalau antar tamu, sampai bayangannya
tak bisa terlihat,” jawabnya lantas nyelonong ke kamar.
“Abang… Abang…” aku pun menyusulnya.
“Sini…” suamiku sudah duluan masuk kamar.
Selanjutnya kami menunaikan ibadah kami yang satu ini….
* * *